Menutup

Saat Pengusaha Akhirnya Buka-Bukaan Soal Tax Amnesty II

  • Rumah
  •  / 
  • Berita
  •  / 
  • Berita
  •  / 
  • Saat Pengusaha Akhirnya Buka-Bukaan Soal Tax Amnesty II

Saat Pengusaha Akhirnya Buka-Bukaan Soal Tax Amnesty II

Jakarta, CNBC Indonesia Pemerintah memutuskan untuk memaafkan pajak atau pengampunan pajak Jilid II melalui program yang diberikan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pengusaha buka suara terkait kebijakan ini.

Suryadi Sasmita, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), sekaligus Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Kadin mengungkapkan tax amnesty jilid II merupakan proposal dari pelaku usaha.

Suryadi menjelaskan, alasan pengusaha meminta diadakannya tax amnesty jilid II karena partisipasi wajib pajak (WP) dalam program tax amnesty jilid I sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah WP yang ada.

“Karena dulu baru satu juta yang ikut. Dari situ bisa melihat, orang yang waktu itu belum ikut karena takut ini jebakan. Tapi kalau yang besar-besar dulu ikut,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, seperti dikutip Senin (1/11/2021).

demikian, kata Suryadi, tidak menutup kemungkinan peserta tax amnesty jilid II ini, kemungkinan adalah pengusaha-pengusaha atau orang pribadi kelas menengah ke atas.

Bahkan, kata Suryadi, tidak menutup kemungkinan pejabat juga bisa ikut dalam tax amnesty jilid II kali ini.

“Masih banyak orang-orang kaya terselubung yang taruh di bawah bantal, yang taruhnya di brankas. Dan mereka mulai mau kasih anaknya untuk usaha, kalau dia gak buka sekarang bagaimana bisa memberikan warisan atau hibah ke anak-anak, termasuk para pejabat juga,” lanjutnya.

“Jadi, menurut saya yang paling mungkin menengah, menengah ke bawah mungkin banyak. menengah ke atas juga banyak, tapi bukan atas sekali,” kata Suryadi melanjutkan.

Kalangan pengusaha, kata Suryadi menyayangkan karena tax amnesty jilid II tidak bisa diikuti oleh sebuah perusahaan. Padahal, peluang bagi perusahaan yang akan ikut pengampunan pajak sangat besar.

“Sayangnya perusahaan, pada kebijakan kedua tidak bisa mengikuti, hanya orang pribadi. Itu sangat bagus,” ujarnya.

“Karena mungkin banyak perusahaan-perusahaan yang juga saat itu 2016 sampai 2020 mereka ada transfer pricing, ada itu. Nah, mereka kan ada dana lebih yang mana mereka juga mau menyatakan. Tapi itu tidak diberi kesempatan,” ujarnya lagi.

Hal berikutnya yang diikuti pengusaha, kata Suryadi adalah tarif PPh Final 6% yang harta kekayaannya dalam Surat Berharga Negara (SBN) atau untuk hilirisasi sumber daya alam (SDA) dan energi terbarukan, yang belum jelasisasi apa yang dimaksud.

“Hilirisasi yang mana, belum jelas hilirisasi itu apa saja,” ujarnya.

Menurut Suryadi, jika seseorang ingin berinvestasi pada energi baru terbarukan, bisa diambil bukan melalui pengampunan pajak. Tapi melalui skema pembiayaan yang lain. Dan menurut Suryadi, target subjek pajaknya lebih pas diberikan untuk perusahaan.

“Itu dia bisa kredit dengan suku bunga murah, karena itu untuk green kan. Kalau mereka memberikan untuk perusahaan, mungkin akan lebih tertarik,” tuturnya.

“Kalau untuk pribadi, dengan tarif segitu (6% untuk Kebijakan I dan 12% untuk Kebijakan II) itu kurang tertarik,” ujarnya.

Seperti diketahui, pada tax amnesty jilid II pemerintah berencana melaksanakan tax amnesty dengan dua kebijakan. Kebijakan I dan II.

Pada kebijakan I, subjek pada kategori ini adalah wajib pajak yang pernah mengikuti tax amnesty jilid II, baik itu orang pribadi dan wajib pajak. Dengan dasar aset yaitu per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan pada saat mengikuti tax amnesty jilid I.

Peserta bisa mendapatkan tarif PPh final rendah apabila sebagian besar hartanya diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/energi terbarukan. Dengan rentang tarif PPh Final sebesar 6% hingga 11%.

Kemudian pada kebijakan II, subjek pajaknya adalah wajib pajak orang pribadi dengan dasar aset perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020 dengan rentang PPh Final sebesar 12% hingga 18%.

Oleh karena itu, Suryadi mempertanyakan, sebenarnya apa dibalik pelaksanaan tax amnesty bagi pemerintah ini, apakah untuk menambah penerimaan negara atau untuk memutar roda ekonomi.

Suryadi juga sebelumnya menyarankan kepada pemerintah agar sebaiknya uang dari deklarasi wajib pajak dapat digunakan untuk tambahan modal usaha, dibandingkan hanya membaca di surat berharga negara (SBN).

“Tujuannya apa, pemerintah butuh dana atau untuk ekonomi? Itu saja pertanyaan saya. Kalau untuk ekonomi, harusnya semua investasi itu dibuka. Tapi, bisa dibuktikan untuk membuka lapangan usaha dan bisa untuk bayar pajak,” ujarnya.

Lainnya, kata Suryadi, saat ini pelaku usaha belum mendapat catatan, apakah jika ada wajib pajak yang sedang dalam pengawasan dan himbauan DJP bisa digugurkan dan bisa mengikuti amnesti pajak jilid II atau tidak.

“Apakah himbauan itu bisa diberhentikan. Itu masih gak jelas sekali. Takutnya kalau mau buka, udah bikin surat keterangan mau ikut, tau-tau pemeriksaan jalan terus. Itu perlu ada kepastian hukum terlebih dahulu,” kata Suryadi melanjutkan.

Pada tax amnesty jilid I, pemerintah mematok target deklarasi dalam dan luar negeri sebesar Rp 4.000 triliun, dana repatriasi Rp 1.000 triliun dan uang tebusan Rp 165 triliun. Berapa nominal yang bisa dicapai pada tax amnesty jilid II?

Pengusaha jumlah akan sebanyak saat pelaksanaan tax amnesty jilid I.

“Kemungkinan akan sedikit dari yang dulu. Bisa mencapai 25% (dari pelaksanaan tax amnesty jilid I) saja sudah bagus. Meskipun mungkin jumlahnya banyak. Misalnya dulu 1 juta, mungkin sekarang bisa 2 juta atau 3 juta pesertanya. Tapi nilainya, belum tentu,” ujar Suryadi.

Pasalnya, kata Suryadi saat pelaksanaan tax amnesty jilid I, peserta yang ikut adalah mereka para pengusaha-pengusaha 'kelas kakap.

demikian, para pengusaha atau orang-orang kaya menurut Suryadi harus mengikuti tax amnesty jilid II ini, pasalnya tatkala pemerintah mulai menerapkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada 2023, maka mereka tidak bisa menghindari pembayaran pajak.

“Pada 2023 itu kalau sudah pakai IT baru, pake NIK. Kalau dia (wajib pajak) lari-lari, lebih cepat ketangkep. Ini yang sebenarnya masyarakat luas harus tau. Bahwa pajak sekarang tidak seperti sebelumnya,” ujarnya.

demikian, Suryadi memproyeksi penerimaan negara yang bisa diperoleh dari tax amnesty jilid II ini hanya bisa mencapai Rp 70 triliun sampai Rp 100 triliun.

“Itu kalau dipukul rata 70%, bisa mencapai Rp 70 triliun. Tapi kalau udah bisa masuk di atas Rp 500 triliun, sudah oke. Karena ini (tax amnesty) untuk orang menengah ke bawah,” ujarnya.

Saat ini, kata Suryadi pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersama otoritas terkait masih menyusun mekanisme untuk mengikuti tax amnesty jilid II ini, yang rencananya akan dimuat dalam peraturan pemerintah (PP).

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengungkapkan dalam konteks penggunaan program wajib pajak (PPS WP) ini, pemerintah tidak memasang penerimaan target yang bisa diperoleh.

keheranan, ada atau tidaknya PPS WP ini, pemerintah tetap melakukan pemeriksaan terhadap semua wajib pajak di Indonesia.

“Dalam konteks ini (PPS WP), kita tidak bicara target. Karena ada atau tidaknya program ini, program pemeriksaan dan peningkatan kepatuhan wajib pajak terus berjalan,” jelas Febrio dalam program Power Lunch CNBC Indonesia TV, Senin (11/10/2021).

Program wajib pajak dalam UU HPP ini, kata Febrio untuk memberikan kesempatan wajib pajak yang belum optimal kepatuhannya untuk datang secara sukarela, tanpa harus diperiksa Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Pun, bagi wajib pajak yang mengikuti PPS WP ini bisa dengan mudah mendapatkan tarif yang lebih murah ketika pengusaha atau wajib pajak lainnya dengan sukarela.

Sumber:

BERITA – Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia 01 November 2021

posting terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses .